Minggu, 27 Maret 2011

Aku senang mencintaimu (dengan bagaimanakah?)

Dengan bagaimanakah aku senang mencintaimu? Dengan sederhanakah? Oh, tidak. Cinta itu penuh dengan misteri. Bila mencintai dengan sederhana, ke manakah cinta kita akan menuju? Kepada kehampaankah? Ogah, ah!
Aku senang mencintaimu dengan terarah:
dengan sehembus bayu yang dideburkan
Ar-Rahim kepada segumpal darah
yang menjadikannya manusia.
Aku senang mencintaimu dengan tertata:
dengan selaksa aroma yang didesirkan
lebah pengolah buah di hening sarang
yang menjadikannya pencinta.
Begitulah puisi Aisha Chuang dalam Nikmatnya Asmara Islami. Puisi tersebut dimaksudkan sebagai “jawaban” atau “sudut pandang yang lain” terhadap puisi karya Sapardi Djoko Damono, “Aku Ingin”:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dalam segi bahasa penyampaian pesan, mungkin puisi Sapardi Djoko Damono ini lebih indah (dan tentu lebih orisinal). Namun dalam segi makna yang terkandung di dalamnya, aku lebih suka puisi Aisha Chuang di atas. Sebab, aku lebih senang menggunakan sudut pandang yang positif daripada negatif. Inilah sebabnya mengapa aku lebih suka memandang cinta sejati sebagai madu yang dihasilkan oleh lebah pengolah buah daripada sebagai abu kayu yang terbakar oleh api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar