Kamis, 10 Februari 2011

Pacaran, Perlukah?

Jalaluddin Sayuti
Dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib. Masyarakat masa kini sudah tak lagi peduli dengan urusan pergaulan lawan jenis.
Masa remaja adalah masa paling indah dalam perjalanan hidup anak manusia. Banyak hal terjadi dalam masa transisi diri menuju kedewasaan ini. Simaklah pengakuan Dewi (16) yang menganggap pacaran sebagai salah satu ciri untuk menjadi orang dewasa. “Ya, identitas remaja adalah pacaran,” ungkap pelajar sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Jakarta ini. “Kalo engga pacaran, hidup engga indah,” imbuhnya.
Bukan hanya Dewi, tapi ribuan remaja telah mempercayai pacaran sebagai tradisi. Remaja tidak pacaran, berarti kuper (kurang pergaulan). Begitu anggapan mereka.
Biasanya, awal masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas. Atau ketika remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Tapi tak sedikit anak-anak “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran.
Secara bahasa, kata “pacaran” sejauh ini belum terdefinisikan secara baku. Karena motif dan bentuk pacaran yang marak di masyarakat bermacam-macam. Dosen Psikologi Remaja Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Zarina Akbar M.Psi, berpendapat bahwa pacaran adalah suatu hubungan yang di dalamnya terdapat sebuah komitmen dan proses saling mengenal.
Kamus Bahasa Kontemporer karya Peter Salim dan Yenny Salim, membatasi pacaran sebagai sikap intimewa kepada lawan jenis yang tetap disertai rasa kasih. Sayangnya, saat ini dalam pergaulan masyarakat justru banyak berkembang pacaran malah yang tanpa tujuan, apalagi pasangan tetap. Marak terjadi HTS, atau hubungan tanpa status, komitmen, maupun tujuan positif melangkah ke jenjang pernikahan yang disyariatkan.
Zarina miris melihat ironi pacaran remaja Indonesia masa kini. Bangsa yang dulu dikenal dengan nuansa ketimurannya, kata Zarina, kini telah berputar haluan ke arah budaya Barat yang didominasi hal-hal kurang relevan dengan budaya asli bangsa ini. “Pacaran pada remaja saat ini bukan sebatas tren, tapi budaya,” ungkap Zarina kepada Majalah Qalam.
Banyak motif seorang remaja berpacaran. Menurut Zarina, umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh teman-temannya. Faktor terakhir paling banyak mempengaruhi remaja untuk melakukan pacaran.
Magister psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menilai, secara psikologis, tren pacaran remaja masa kini sudah menjurus ke arah budaya permisif yang sangat berbahaya. Pasangan yang berpacaran bukan hanya ingin “mengenal” kepribadian pasangannya, tapi harus mengenal “luar-dalam” fisik masing-masing. Ibarat membeli sepatu, tak hanya bagian luar yang harus dirasakan, bagian dalamnya juga harus “dicoba”.
Apa penyebabnya? Menurut Zarina faktor keterbukaan media yang tidak disikapi bijaksana, internalisasi budaya luar, ditambah kian lemahnya kontrol masyarakat membuat tren negatif ini kian tak terbendung.
Zarina mencontohkan, zaman dulu pacaran dianggap tabu oleh masyarakat. Pasangan remaja lawan jenis yang kedapatan berdua-duaan dianggap aib oleh masyarakat. Beda dengan masyarakat pada masa kini yang sudah tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi dalam pergaulan lawan jenis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar